Selasa, 27 Agustus 2013

SAMBUTAN



Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Pembaca yang budiman,
Kami dari kelas XII IPS 1 yang diwakilkan Prasetyo dan Bobby Nugroho mempersembahkan blog yang bertemakan Biografi Pahlawan dan Tokoh yang lahir di Yogyakarta,
Semoga blog dari kami memberi banyak pengetahuan tentang sebagian Pahlawan dan Tokoh yang lahir di Yogyakarta, dan mohon doanya semoga blog yang kami buat bisa terpilih menjadi yang terbaik dan tak lupa juga kami ingin mengucapkan selamat ulang tahun kepada SMA N 1 SEDAYU. terimakasih dan selamat membaca postingan kami dibawah ini :)

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

 SOEHARTO
 

Soeharto adalah Presiden kedua Republik Indonesia. Beliau lahir di Kemusuk, Yogyakarta, tanggal 8 Juni 1921. Bapaknya bernama Kertosudiro seorang petani yang juga sebagai pembantu lurah dalam pengairan sawah desa, sedangkan ibunya bernama Sukirah. Soeharto masuk sekolah tatkala berusia delapan tahun, tetapi sering pindah. Semula disekolahkan di Sekolah Desa (SD) Puluhan, Godean. Lalu pindah ke SD Pedes, lantaran ibunya dan suaminya, Pak Pramono pindah rumah, ke Kemusuk Kidul. Namun, Pak Kertosudiro lantas memindahkannya ke Wuryantoro. Soeharto dititipkan di rumah adik perempuannya yang menikah dengan Prawirowihardjo, seorang mantri tani.

Sampai akhirnya terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah pada tahun 1941. Beliau resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Pada tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah seorang anak pegawai Mangkunegaran.

Perkawinan Letkol Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26 Desember 1947 di Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun. Mereka dikaruniai enam putra dan putri; Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih.

Jenderal Besar H.M. Soeharto telah menapaki perjalanan panjang di dalam karir militer dan politiknya. Di kemiliteran, Pak Harto memulainya dari pangkat sersan tentara KNIL, kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat Mayor dan komandan batalyon berpangkat Letnan Kolonel.

Serangan Umum 1 Maret 1949 tidak bisa dipisahkan dari sejarah bangsa Indonesia. Peristiwa tersebut menjadi salah satu catatan penting saat Republik ini baru mulai berdiri setelah lepas dari penjajahan Belanda. Banyak versi seputar Serangan Umum 1 Maret tersebut. Namun demikian, peran Letkol Soeharto tentu tidak bisa dipisahkan dalam perang untuk merebut kembali Ibu Kota Republik Indonesia, Yogyakarta. Tujuan utama tentu untuk menaklukkan pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Alhasil Serangan Umum 1 Maret bisa menunjukkan kepada dunia internasional bahwa TNI masih ada.

Pada tahun 1949, dia berhasil memimpin pasukannya merebut kembali kota Yogyakarta dari tangan penjajah Belanda saat itu. Beliau juga pernah menjadi Pengawal Panglima Besar Sudirman. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Mandala (pembebasan Irian Barat).

Tanggal 1 Oktober 1965, meletus G-30-S/PKI. Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Selain dikukuhkan sebagai Pangad, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Bulan Maret 1966, Jenderal Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno. Tugasnya, mengembalikan keamanan dan ketertiban serta mengamankan ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.

Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS, Maret 1967, menunjuk Pak Harto sebagai Pejabat Presiden, dikukuhkan selaku Presiden RI Kedua, Maret 1968. Pak Harto memerintah lebih dari tiga dasa warsa lewat enam kali Pemilu, sampai ia mengundurkan diri, 21 Mei 1998.

Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.

Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru. Program pemerintah Soeharto diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Dan rehabilitasi ekonomi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membentung laju inflasi. Dan pemerintah Orde Baru berhasil membendung laju inflasi pada akhir tahun 1967-1968, tetapi harga bahan kebutuhan pokok naik melonjak. Sesudah dibentuk Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968, pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu ekonomi nasional relatif stabil

Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Pambangunan Jangka Pendek dirancang melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945.

Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada masa itu pemerintah sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya stabilitas ekonomi. Karena hal itulah maka pemerintah jarang sekali melakukan perubahan-perubahan kebijakan terutama dalam hal anggaran negara. Pada masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan politik yang dijalankan oleh pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan pemerataan pembangunan.

Pada tahun 1998 merupakan masa kelam bagi Presiden Soeharto dan masuknya masa reformasi bagi Indonesia, Dengan besarnya demonstrasi yang dilakukan oleh Mahasiswa serta rakyat yang tidak puas akan kepemimpinan Soeharto serta makin tidak terkendalinya ekonomi serta stabilitas politik Indonesia maka pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.05 WIB Pak Harto membacakan pidato "pernyataan berhenti sebagai presiden RI” setelah runtuhnya dukungan untuk dirinya. Soeharto telah menjadi presiden Indonesia selama 32 tahun. Sebelum dia mundur, Indonesia mengalami krisis politik dan ekonomi dalam 6 sampai 12 bulan sebelumnya. BJ Habibie melanjutkan setidaknya setahun dari sisa masa kepresidenannya sebelum kemudian digantikan oleh Abdurrahman Wahid pada tahun 1999. Kejatuhan Suharto juga menandai akhir masa Orde Baru, suatu rezim yang berkuasa sejak tahun 1968.

Presiden RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008.
Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta. Berita wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara resmi Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi organ.

Kemudian sekira pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Ambulan yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan seorang wartawati televisi tertabrak.

Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Isak tangis warga pecah begitu rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan Cendana, sekira pukul 14.55, Minggu (27/1).

Sementara itu, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji Muhammad Soeharto.

Jika direnungkah banyak jasa-jasa besar yang dilakukan Soeharto untuk pembangunan dan perkembangan Indonesia dmata dunia Internasional, sebagan rakyat yang pernah hidup di zaman Presiden Soeharto menganggap zaman Soeharto merupakan zaman keemasan ndonesia, karena harga-harga kebutuhan pokok yang murah dimasa itu yang berbanding terbalik dengan zaman sekarang ini, pertumbuhan ekonomi yang stabil, Presiden Soeharto berhasil merubah wajah Indonesia yang awalnya menjadi negara pengimpor beras menjadi negara swasembada beras dan turut mensejahterahkan petani. Sektor pembangunan dimasa Presiden Soeharto dianggap paling maju melalui Repelita I sampai Repelita VI.

Keamanan dan kestabilan negara yang terjamin serta menciptakan kesadaran nasionalisme yang tinggi pada masanya. Di bidang kesehatan, upaya meningkatkan kualitas bayi dan masa depan generasi ini dilakukan melalui program kesehatan di posyandu dan KB, sebuah upaya yang mengintegrasikan antara program pemerintah dengan kemandirian masyarakat. Di jamannya, program ini memang sangat populer dan berhasil. Banyak ibu berhasil dan peduli atas kebutuhan balita mereka di saat paling penting dalam periode pertumbuhannya. itulah sekelumit jasa-jasa atau prestasi dari presiden Soeharto meskipun disamping jasa-jasanya tersebut banyak juga kegagalan di pemerintahannya seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di masanya, pembangunan yang tidak merata antara pusat dan daerah sehingga memunculkan kecemburuan dari daerah seperti Papua.

Dari banyaknya jasa presiden Soeharto tersebut sehingga banyyak yang mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional Indonesia. Terlepas dari sejumlah pihak yang masih mempermasalahkan sejumlah kasus hukum Soeharto, fakta di dalam sejarah Indonesia menunjukkan bahwa Soeharto memiliki jasa besar kepada Indonesia. “Perjuangan Soeharto untuk Indonesia yang tercatat dalam buku sejarah bangsa ini, antara lain, pada masa revolusi fisik antara 1945 hingga 1949, pascarevolusi fisik antara 1962 hingga 1967 dan masa kepemimpinannya sebagai presiden

Sosok Soeharto masih menjadi kontroversi hingga saat ini. Rakyat kecil mengingatnya sebagai pahlawan yang menyediakan bensin murah dan beras yang bisa dijangkau. Mereka yang ketika itu tak bersentuhan dengan politik dan pergerakan, akan langsung mengangguk setuju jika ditanya zaman Soeharto lebih enak. Polemik soal gelar pahlawan bagi Soeharto pun masih penuh perdebatan. Sebagian setuju, sebagian menolak mentah-mentah. Sebagian menganggap Soeharto pahlawan pembangunan dan penyelamat Pancasila. Sebagian lagi menganggap Soeharto berlumuran darah atas berbagai aksi pembantaian selama peralihan Orde Lama ke Orde Baru dan seterusnya.


FOTO FOTO KENANGAN MANTAN PRESIDEN SOEHARTO





dr Wahidin Soedirohoesodo

Dr Wahidin Sudirohusodo adalah salah satu pelopor pergerakan nasional, pendiri organisasi Boedi Utomo dan tokoh yang memberi inspirasi terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Beliau adalah alumni sekolah dokter jawa. Gagasan penting yang mewarnai perjuangan pergerakan nasional adalah memprakarsai organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan dan meninggikan martabat bangsa. Gagasan ini ternyata disambut baik oleh para pelajar STOVIA tersebut. Akhirnya pada tanggal 20 Mei 1908, lahirlah Budi Utomo.


Biografi dr Wahidin Sudirohusodo

Nama
Wahidin Soedirohoesodo
Tanggal lahir
7 Januari 1852
Tempat lahir
Mlati, Sleman, Yogyakarta
Wafat
Yogyakarta, 26 Mei 1917
Pendidikan
  • Sekolah Dasar di Yogyakarta
  • Europeesche Lagere School di Yogyakarta
  • Sekolah Dokter Jawa di Jakarta
  • STOVIA
Aktivitas perjuangan
  • Mengabdikan pengetahuannya sebagai dokter yang memberikan layanan kesehatan secara gratis kepada masyarakat
  • Mengemukakan gagasan tentang strategi perjuangan kemerdekaan yaitu dengan mencerdaskan kehidupan masyarakat melalui pendidikan
  • Memperluas pendidikan dan pengajaran dan memupuk kesadaran kebangsaan
  • Mempelopori berdirinya organisasi Boedi Utomo
Penghargaan
Pahlawan Nasional RI No 088/TK/1973

Wahidin Sudirohusodo adalah seorang murid yang cerdas dan pandai. Setelah menamatkan pendidikannya di STOVIA Jakarta ia kembali ke kota asalahnya Yogyakarta mengabdikan dirinya sebagai dokter. Ia banyak bergaul dengan rakyat biasa sehingga tumbuhlah semangat nasionalisme untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan penjajahan. Untuk mewujudkannya ia bergerak mengumpulkan dana yang disebut “dana pelajar” dan melontarkan gagasan-gagasannya melalui majalah berbahasa jawa Ratna Dumilah.

Saat mengunjungi Jakarta dan bertemu dengan pelajar-pelajar STOVIA, ia melontarkan gagasan agar para mahasiswa segera mendirikan organisasi modernyang bertujuan memajukan derajat bangsa. Gagasan tersebut disambut dengan berdirinya organisasi Boedi Utomo tanggal 20 Mei 1908. Organisasi ini akhirnya menjadi pioner terhadap bangkitnya kesadaran nasional sehingga setiap tanggal 20 Mei diperingati sebagai hari kebangkitan nasional hingga sekarang.

 Raden Mas Soerjopranoto



 suryopranoto

Lahir di Jogjakarta, 11 Januari 1871 – meninggal di Tjimahi, 15 Oktober 1959 pada umur 88 tahun adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-3 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 310 Tahun 1959, tanggal 30 November 1959).
Ia dimakamkan di Kotagede, Yogyakarta.

Namanya jarang disebutkan dalam deretan pejuang kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi, pada masanya, ia adalah salah seorang pemimpin gerakan buruh paling disegani. Dirinya sering disejajarkan dengan Semaun.
Dia adalah Suryopranoto. Selain sebagai tokoh gerakan buruh, Suryopranoto juga anggota Sarekat Islam (SI)—organisasi yang bermula dari perkumpulan ronda kemudian bertumbuh menjadi organisasi massa. Dia pernah memimpin SI cabang Jogjakarta.
Suryopranoto ini punya adik bernama Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara. Meski kedua-duanya sama-sama punya semangat memberontak terhadap kolonialisme, nama Suryopranoto tak setenar nama Ki Hajar Dewantara.
Sejak kecil “memberontak”
Suryopranoto dilahirkan 11 Agustus 1871. Meski bergelar “Raja Mogok” (De Stakingskoning), Ia tidak berasal dari keluarga proletar. Suryopranoto berasal dari keluarga aristokrat. Nama kecilnya adalah Iskandar.
Ayahnya, Pangeran Suryaningrat, masih keturunan Paku Alam III. Sejak kecil, Iskandar dan adiknya—Ki Hajar Dewantara—dititipkan pada pamannya yang tinggal di desa. Pengalaman inilah yang membentuk karakter Iskandar dan adiknya: bergaul dan sangat dekat dengan Rakyat.
Sejak kecil, Iskandar dan Adiknya sudah berjiwa pemberontak. Iskandar sering membantah gurunya di sekolah dan berkelahi dengan anak-anak Belanda. Tapi, pemberontakannya juga sering mengarah pada tatanan feodal. Konon, Suryopranoto menggergaji gelar “Raden Mas” dari papan namanya.
Ia lulus sekolah OSVIA di Magelang. Sempat menjadi pegawai, namun ditinggalkan karena sering konflik dengan atasannya: orang Belanda. Ia melanjutkan pendidikan di sekolah pertanian di Bogor. Di sinilah, seperti diceritakan Ki Hajar Dewantara, Suryopranoto bertemu Deuwes Dekker alias Danudirja Setiabudi, yang kelak bersama Ki Hajar Dewantara dan Tjipto Mangunkusumo mendirikan Indische Partij (IP).
Di sini, semangat anti-kolonial Suryopranoto makin terbentuk. Di tahun 1908—seperti dikisahkan Ki Hajar Dewantara—Suryopranoto sudah berembuk dengan pelajar-pelajar STOVIA untuk membikin perhimpunan. Tetapi ia menemui kegagalan. Namun, seperti kita ketahui, organisasi lain berdiri—Boedi Oetomo (BO).
Tetapi Suryopranoto bergabung dengan organisasi ini. Ia menjadi sekretaris BO di Jogjakarta. Namun, jiwa memberontaknya membuatnya sering resah di organisasi priayi ini. Seperti dikatakannya, “jalannya organisasi Boedi Oetomo masih sangat berhati-hati dan lambat.”
Tak lama kemudian, BO mengalami perpecahan. Ia meninggalkan organisasi priayi yang dianggapnya “tidak terasa di kalangan rakyat tingkatan bawah.” Ia pun mengorganisir gerakan bernama “Adhi Dharma”. Gerakan ini, seperti ditulis Takashi Shiraishi di buku “Zaman Bergerak”, mirip dengan badan sosial yang memberi bantuan kepada ‘orang tidak mampu’.
Si ‘Raja Mogok’
Pada tahun 1918, ketika terjadi kerusuhan buruh di pabrik gula Padokan, Jogjakarta, Suryopranoto mengorganisir Arbeidsleiger (tentara buruh). Organisasi ini membantu buruh korban PHK untuk mencari pekerjaan baru dan memberi bantuan keuangan selama mereka mencari kerja.
Tetapi, Suryopranoto juga menjadi anggota Sarekat Islam (SI). Ia menjadi salah seorang tokoh penting di SI. Pada tahun 1919, terjadi perlawanan rakyat di Garut, Jawat Barat. Ini dipicu oleh kebijakan kolonial memaksa petani menyetor sebagian hasil panennya. Haji Hasan Arif, seorang ulama setempat yang juga anggota SI, memimpin perlawanan rakyat ini.
SI mengirim Suryopranoto untuk membantu perjuangan rakyat di Garut itu. Inilah yang disebut peristiwa “SI Afdeling B”. Gara-gara peristiwa itu, Tjokroaminoto dan Suryopranoto ditangkap penguasa kolonial. Tetapi versi Takashi Shiraishi menyebut Sosrokardono yang ditangkap akibat peristiwa Garut itu. (Mohon koreksi atau masukan mengenai hal ini)
Pada tahun 1917, keresahan di kalangan buruh meningkat. Di Jogjakarta, Suryopranoto mendirikan Personeel Fabriek Bond—Ikatan Buruh Pabrik (PFB). Awalnya, seperti ditulis Ruth T. McVey, PFB hanya beranggotakan 700-an orang. Akan tetapi, setahun kemudian, anggota PFB telah meningkat menjadi 6000 anggota ditambah 2000 calon anggota. Pada akhir 1919, PFB menjadi serikat buruh paling besar dan militan di Jawa, dengan 90 cabang dan 10 ribu anggota.
Nama Suryopranoto sebagai “Raja Mogok” mencuat. Berbagai pemogokan yang dipimpin oleh PFB mencapai kemenangan. Pada saat bersamaan, PFB juga menerbitkan sebuah koran propaganda bernama “Boeroeh Bergerak”. Suryopranoto makin radikal. Dalam pidatonya di kongres SI tahun 1919, ia membandingkan gaji orang Belanda di pabrik gula dan kuli penggali tanah.
Suryopranoto mengatakan, seorang pegawai Belanda dalam pabrik gula, dengan duduk ongkang-ongkang, mendapat persenan tahunan 500.000 rupiah. Sedangkan seorang penggali tanah, yang menggali lubang sedalam 24 kaki, hanya mendapat upah 1,5 sen.
Pada pertengahan 1920, cabang PFB sudah meningkat menjadi 179 dan anggotanya mencapai 31.000 orang. Ini mencakup 90% pabrik gula. Apa pemicu pembesaran organisasi ini? Takashi Shiraishi berusaha memberi jawaban: pemerintah kolonial menganggap pemogokan itu murni “ekonomis” dan hal ini sesuai dengan ketidakpuasan buruh atas rendahnya upah mereka. Sehingga pemerintah kolonial cenderung membiarkan pemogokan itu.
Pada bulan Agustus 1920, PFB menyerukan “pemogokan umum”. Pemogokan ini direncanakan akan menyeret serikat-serikat lain. Untuk diketahui, pada tahun 1916, terbentuk juga serikat lain yang tak kalah kuatnya, yaitu Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB). Serikat ini dipimpin oleh Sosrokardono sebagai ketua dan Alimin sebagai wakil. Nah, pada tahun 1919, PFB dan PPPB bersatu—bersama dengan 22 serikat lainnya, termasuk VSTP, dalam sebuah federasi bernama Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB). Inilah federasi buruh pertama dalam sejarah Indonesia.
Nah, balik lagi ke seruan pemogokan PFB pada tahun 1920. Saat itu, ada hal yang luput dihitung oleh Suryopranoto: kesiapan sindikat gula merespon rencana pemogokan ini. Momentum pemogokan sebetulnya sudah tepat: menjelang panen (saat sindikat gula memerlukan banyak tenaga buruh). Hanya saja, sindikat gula sudah menaikkan upah sebesar 20-50%. Selain itu, sindikat gula juga sudah meminta bantuan pemerintah untuk turun tangan. Saat itu, pemerintah kolonial mulai menganggap pemogokan sebagai tindakan “politis”.
Beberapa saat menjelang pemogokan, sindikat gula menebar ancaman: PHK. Banyak cabang-cabang PFB yang ragu untuk mengikuti pemogokan. Pemerintah kolonial juga tak memberi toleransi. Residen Jogjakarta memanggil Suryopranoto ke kantor Keresidenan. Suryopranoto diminta untuk tidak mogok. Sebagai imbalannya, pemerintah berjanji akan “memperhatikan kegelisahan kaum buruh”.
Kegagalan pemogokan membawa malapetaka. PFB mengalami kebingungan dan putus asa. Cabang-cabangnya banyak yang mundur. Tak lama kemudian, seiring dengan perpecahan di tubuh SI, PFB pun surut. PPBK—federasi buruh pertama itu—mengalami perpecahan: faksi kirinya (Semaun cs) keluar. Dalam kasus perpecahan SI, Suryopranoto berada di pihak pendukung “disiplin partai”.
Pamor Suryopranoto sebagai “Raja Mogok” meredup. Kepemimpinan pemogokan berpindah ke tangan orang-orang kiri. Kini, tiba giliran VSTP untuk bersinar.
Meski berada di barisan pergerakan yang moderat, yaitu SI-putih, Suryopranoto sering terseret spreek-delict (pelanggaran berbicara). Ia pun dipenjara tiga kali karena tuduhan tersebut: pertama di penjara di Malang (1923- 3 bulan), kedua di Semarang (1926- 6 bulan) dan ketiga kalinya di Bandung (1933- 16 bulan).
Sayang, SI juga tak menjadi tempat “perjuangan” yang baik bagi Suryopranoto. Pada tahun 1933, ia dipecat dari keanggotaan karena membongkar kasus korupsi. Saat itu, ia disuruh meminta maaf. Tetapi ia menolak.
1935, sekeluarnya dari penjara Sukamiskin, Bandung, kondisi kesehatan Suryopranoto mulai merosot. Ia mulai mengurangi aktivitasnya di lapangan pergerakan. Ia kemudian mengurusi dan mengajar di sekolah Adhi Dharma.
Pasca proklamasi kemerdekaan 1945, Suryopranoto banyak mengajar di sekolah “Taman Siswa”—sekolah yang dibangun adiknya, Ki Hajar Dewantara. Pada 15 oktober 1959, Suryopranoto menghembuskan nafas yang terakhir di Cimahi, Jawa Barat. Ia dimakamkan di makam keluarga di Yogyakarta. Presiden Sukarno memberinya gelar “Pahlawan Kemerdekaan Nasional RI”.
 KI HAJAR DEWANTARA

  Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.

Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.


Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.


Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.


Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.

Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.

Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.

Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".

Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.

Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.

Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.

Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.

Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.

Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.

Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.

Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.

Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.

Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).